Masyarakat Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, sebagian besar hidup
dalam
naungan
hukum adat. Norma-norma adat dijadikan pedoman untuk mengatur
kehidupan
sosial dan mengelola sumber daya alam. Siapa pun yang melanggar
ketentuan
hukum adat harus menghadapi peradilan adat yang disebut pokara adat.
Konflik
di masyarakat ditangani melalui putusan adat. Putusan diambil oleh para tokoh
adat
mengacu hukum adat yang berlaku.
Di Indonesia, penyelesaian dan putusan terhadap perkara adat oleh
peradilan adat umumnya kurang dihormati. Sistem hukum negara tidak mengakui
keberadaan
lembaga
hukum adat dan putusannya. Seiring diterbitkannya Undang-Undang Darurat
Nomor
1 Tahun 1951, peradilan adat yang dulu dikenal sebagai peradilan swapraja,
telah
resmi dihapuskan. Hukum dan peradilan adat disepelekan, karena dianggap kolot
dan statis. Namun, praktik peradilan adat, termasuk "denda adat",
belakangan justru semakin marak di Kabupaten Sanggau. Kabupaten ini dihuni tiga
suku besar, yaitu Dayak, Melayu, dan Tionghoa.
Masyarakat Dayak mengenal peradilan adat sejak zaman nenek moyang.
Hukum adat masih dipraktikkan sampai sekarang. Sengketa diselesaikan lewat
peradilan adat yang dipimpin oleh seorang timanggong (temenggung). Pada umumnya
timanggong hanya menyelesaikan kasus pelanggaran berat, misalnya penganiayaan
berat dan
pembunuhan.
Sedangkan kasus-kasus sengketa ringan bisa diselesaikan sendiri oleh
kepala
kampokng (kampung atau desa). Kampokng merupakan sistem yang sudah lama
ada.
Di kalangan masyarakat Melayu, peradilan adat juga dikenal. Peradilan
ini dipimpin oleh Ketua Adat yang disebut penggawa. Masyarakat etnis Melayu di
Sanggau identik dengan masyarakat muslim. Hukum adat yang mereka anut bersumber
pada kitab suci Al Quran. Kewenangan memutuskan suatau perkara ada di tangan
pemangku adat. Dalam praktik peradilan adat di Sanggau, sanksi adat tidak
dijatuhkan seenaknya.
Sanksi
dijatuhkan berdasarkan hukum adat dengan menimbang kesepakatan atau
musyawarah
antara si pelaku pelanggaran dengan pihak korban.
Di
masyarakat Dayak Kanayatn, maupun etnis Dayak yang lain, sanksi adat didasarkan
pada asas kerukunan, kepatutan, dan keselarasan. Asas-asas tersebut tercermin
dalam ajaran adat Dayak Kanayatn yang diterapkan ketika menyelesaikan perkara,
misalnya pamangkong ame' patah (pemukul jangan patah), ular ame' mati (ular
jangan mati), tanah ame' lamakng (tanah jangan berbekas), adil ka' talino (adil
kepada sesama), bacarumin ka' saruga (bercermin ke surga), basengat ka' Jubata
(berdasarkanKetuhanan), adat lebih Jubata bera (adat
lebih Tuhan marah), dan adat kurang antubera (adat kurang hantu marah).
Pada masyarakat Melayu, penerapan hukum adat juga disesuaikan
dengan hakikat dan tujuan hukum itu sendiri. "Hukum adat diterapkan untuk
menciptakan ketertiban masyarakat, keadilan, dan kepastian hukum," ungkap
Hamdan MS, Wakil Ketua Majelis Adat Budaya Melayu di Sanggau.
Syarat Mutlak
Penyelesaian perkara mengacu hukum adat melalui peradilan
adat adalah kebutuhan bersifat mutlak (conditio sine qua non) bagi masyarakat
adat Dayak. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Prof Dr YC
Thambun Anyang, SH,
berpendapat, kebutuhan itu disebabkan masih kuatnya alam pikiran
religio magis dan
perasaan kebersamaan di kalangan etnis Dayak.
Peradilan adat menjadi alternatif terbaik penyelesaian
perkara, karena letak kampung mereka jauh dari ibu kota. Untuk berperkara di
peradilan negara di kota, mereka harus menempuh jalan darat yang buruk. Karena
itulah, peradilan tetap bertahan hingga sekarang. "Peradilan adat dirasakan
cepat, murah, sederhana, dan tepat, " ujar Thambun Anyang. Adat malu masih
cukup kuat dianut masyarakat Dayak.
Mereka umumnya merasa sangat malu apabila harus
bersengketa, apalagi berperkara di muka umum. Sengketa maupun perselisihan
perkara tidak disukai warga etnis Dayak sehingga sedapat mungkin dihindari.
Peradilan adat tidak secara sekonyong-konyong dilakukan untuk menyelesaikan
perkara. Sengketa biasanya diselesaikan dulu melalui musyawarah secara kekeluargaan
tanpa mengabaikan penerapan adat serta hukum adat. "Peradilanadat baru
dilakukan apabila penyelesaian secara kekeluargaan tidak berhasil,"
Thambun Anyang menambahkan.Asas kerukunan, kepatutan, dan keselarasan
dipertimbangkan dalam upaya penyelesaian perkara oleh para ketua adat maupun
tetua adat. Diharapkan perkara bisa diselesaikan secara tuntas, tanpa perasaan
dendam. Pelaku maupun korban dapat saling memaafkan, serta melanjutkan kembali
kehidupan secara damai. Kompetensi para tetua adat yang memimpin sidang
peradilan adat sangat diperlukan, agar bisa diperoleh penyelesaian perkara
terbaik mengacu asas kerukunan, kepatutan, dan keselarasan. Sanksi atau denda
adat yang diputuskan dan diterima kedua belah pihak selanjutnya harus dibayar.
Terkadang orang-orang yang berperkara tidak puas atas
putusan peradilan adat. Ketika sanksi adat dirasakan tidak cukup adil, mereka
mengajukan gugatan memakai hukum formal. Kepala Pengadilan Negeri Sanggau,
Syaukat Mursalin, SH, mengakui ada
beberapa kasus di Pengadilan Negeri Sanggau yang sudah disidangkan
dalam peradilan
adat. Dari sejumlah kasus kecelakaan lalu lintas yang disidangkan
di Pengadilan Negeri
Sanggau, besar denda adat ada yang mencapai Rp 35 juta. Namun,
keluarga korban
mengaku hanya menerima Rp 10 juta. "Ini fakta yang cukup
memprihatinkan bagi
keluarga korban," ujar Syaukat Mursalin. Kondisi itu juga
tidak adil bagi si pelaku yang
fakta sudah membayar denda adat sesuai peradilan adat. Mau tidak
mau putusan peradilan adat harus dipertimbangkan oleh pihak PN Sanggau.
Pembayaran denda adat dijadikan hakim sebagai pertimbangan
hal-hal yang
meringankan. Dasar pemikir-an dan pertimbangan hakim, menurut
Syaukat Mursalin,
"Apakah adil bagi seorang terdakwa yang sudah habis-habisan,
terkadang menjual
banyak harta, tanah dan rumah, untuk membayar denda adat, lantas
dijatuhi pula
hukuman penjara? Putusan memasukkan lagi terdakwa ke penjara
adalah tindakan
yang aniaya, sudah jatuh tertimpa tangga."
Untuk menciptakan perasaan keadilan, dari sekian banyak
kasus yang disidangkan oleh PN Sanggau, diputus dengan hukuman percobaan.
"Dipandang lebih adil oleh pengadilan apabila terdakwa yang sudah membayar
denda adat dijatuhi dengan pidana percobaan," Syaukat menambahkan. Sedemikian
kuat keberadaan hukum adat dan peradilan adat di Sanggau, sehingga persoalan
"denda adat" terkadang muncul ibarat hantu. Sangat menakutkan. Sikap masyarakat
yang cenderung segan, dan patuh, pada keputusan adat bahkan dianggap peluang
bagi munculnya "preman-preman adat". Isu preman adat kini sedang meresahkan
warga Sanggau. Para preman adat itu tak segan-segan mengajukan "denda
adat" yang jumlahnya terlampau besar kepada para pelaku, terutama kasus
pati nyawa (pembunuhan). Tauke atau keturunan Tionghoa yang bermukim di Sanggau
kerap jadi sasaran preman adat. Berapa pun denda adat dijatuhkan, umumnya para tauke
sanggup membayar. Ironisnya, pelaku komersialisasi hukum adat itu sendiri ternyata
banyak yang bukan fungsionaris adat. Alih-alih menciptakan keadilan hukum, yang
terjadi ujung-ujungnya justru pemerasan.
Opini : peradilan adat sanggau atau daerah yang ada di kalimantan
sebenarnya baik mereka memutuskan sesuatu dengan cara berunding dan mengikuti
peraturan yang ada sejak jaman nenek moyang dulu, selagi peraturan itu bisa di
terima dengan baik dan bisa di anggap adil mengapa tidak di pakai tapi dengan
di bantu adanya musyawarah bersama supaya mencapai kesepakatan dan tidak ada
pihak yang merasa di rugikan.