Rabu, 11 Januari 2012

Peradilan adat Sanggau kalimantan barat


Masyarakat Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, sebagian besar hidup dalam
naungan hukum adat. Norma-norma adat dijadikan pedoman untuk mengatur
kehidupan sosial dan mengelola sumber daya alam. Siapa pun yang melanggar
ketentuan hukum adat harus menghadapi peradilan adat yang disebut pokara adat.
Konflik di masyarakat ditangani melalui putusan adat. Putusan diambil oleh para tokoh
adat mengacu hukum adat yang berlaku.

Di Indonesia, penyelesaian dan putusan terhadap perkara adat oleh peradilan adat umumnya kurang dihormati. Sistem hukum negara tidak mengakui keberadaan
lembaga hukum adat dan putusannya. Seiring diterbitkannya Undang-Undang Darurat
Nomor 1 Tahun 1951, peradilan adat yang dulu dikenal sebagai peradilan swapraja,
telah resmi dihapuskan. Hukum dan peradilan adat disepelekan, karena dianggap kolot dan statis. Namun, praktik peradilan adat, termasuk "denda adat", belakangan justru semakin marak di Kabupaten Sanggau. Kabupaten ini dihuni tiga suku besar, yaitu Dayak, Melayu, dan Tionghoa.

Masyarakat Dayak mengenal peradilan adat sejak zaman nenek moyang. Hukum adat masih dipraktikkan sampai sekarang. Sengketa diselesaikan lewat peradilan adat yang dipimpin oleh seorang timanggong (temenggung). Pada umumnya timanggong hanya menyelesaikan kasus pelanggaran berat, misalnya penganiayaan berat dan
pembunuhan. Sedangkan kasus-kasus sengketa ringan bisa diselesaikan sendiri oleh
kepala kampokng (kampung atau desa). Kampokng merupakan sistem yang sudah lama
ada.

Di kalangan masyarakat Melayu, peradilan adat juga dikenal. Peradilan ini dipimpin oleh Ketua Adat yang disebut penggawa. Masyarakat etnis Melayu di Sanggau identik dengan masyarakat muslim. Hukum adat yang mereka anut bersumber pada kitab suci Al Quran. Kewenangan memutuskan suatau perkara ada di tangan pemangku adat. Dalam praktik peradilan adat di Sanggau, sanksi adat tidak dijatuhkan seenaknya.
Sanksi dijatuhkan berdasarkan hukum adat dengan menimbang kesepakatan atau
musyawarah antara si pelaku pelanggaran dengan pihak korban.

Di masyarakat Dayak Kanayatn, maupun etnis Dayak yang lain, sanksi adat didasarkan pada asas kerukunan, kepatutan, dan keselarasan. Asas-asas tersebut tercermin dalam ajaran adat Dayak Kanayatn yang diterapkan ketika menyelesaikan perkara, misalnya pamangkong ame' patah (pemukul jangan patah), ular ame' mati (ular jangan mati), tanah ame' lamakng (tanah jangan berbekas), adil ka' talino (adil kepada sesama), bacarumin ka' saruga (bercermin ke surga), basengat ka' Jubata (berdasarkanKetuhanan), adat lebih Jubata bera (adat lebih Tuhan marah), dan adat kurang antubera (adat kurang hantu marah).

Pada masyarakat Melayu, penerapan hukum adat juga disesuaikan dengan hakikat dan tujuan hukum itu sendiri. "Hukum adat diterapkan untuk menciptakan ketertiban masyarakat, keadilan, dan kepastian hukum," ungkap Hamdan MS, Wakil Ketua Majelis Adat Budaya Melayu di Sanggau.



Syarat Mutlak

Penyelesaian perkara mengacu hukum adat melalui peradilan adat adalah kebutuhan bersifat mutlak (conditio sine qua non) bagi masyarakat adat Dayak. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Prof Dr YC Thambun Anyang, SH,
berpendapat, kebutuhan itu disebabkan masih kuatnya alam pikiran religio magis dan
perasaan kebersamaan di kalangan etnis Dayak.

Peradilan adat menjadi alternatif terbaik penyelesaian perkara, karena letak kampung mereka jauh dari ibu kota. Untuk berperkara di peradilan negara di kota, mereka harus menempuh jalan darat yang buruk. Karena itulah, peradilan tetap bertahan hingga sekarang. "Peradilan adat dirasakan cepat, murah, sederhana, dan tepat, " ujar Thambun Anyang. Adat malu masih cukup kuat dianut masyarakat Dayak.

Mereka umumnya merasa sangat malu apabila harus bersengketa, apalagi berperkara di muka umum. Sengketa maupun perselisihan perkara tidak disukai warga etnis Dayak sehingga sedapat mungkin dihindari. Peradilan adat tidak secara sekonyong-konyong dilakukan untuk menyelesaikan perkara. Sengketa biasanya diselesaikan dulu melalui musyawarah secara kekeluargaan tanpa mengabaikan penerapan adat serta hukum adat. "Peradilanadat baru dilakukan apabila penyelesaian secara kekeluargaan tidak berhasil," Thambun Anyang menambahkan.Asas kerukunan, kepatutan, dan keselarasan dipertimbangkan dalam upaya penyelesaian perkara oleh para ketua adat maupun tetua adat. Diharapkan perkara bisa diselesaikan secara tuntas, tanpa perasaan dendam. Pelaku maupun korban dapat saling memaafkan, serta melanjutkan kembali kehidupan secara damai. Kompetensi para tetua adat yang memimpin sidang peradilan adat sangat diperlukan, agar bisa diperoleh penyelesaian perkara terbaik mengacu asas kerukunan, kepatutan, dan keselarasan. Sanksi atau denda adat yang diputuskan dan diterima kedua belah pihak selanjutnya harus dibayar.

Terkadang orang-orang yang berperkara tidak puas atas putusan peradilan adat. Ketika sanksi adat dirasakan tidak cukup adil, mereka mengajukan gugatan memakai hukum formal. Kepala Pengadilan Negeri Sanggau, Syaukat Mursalin, SH, mengakui ada
beberapa kasus di Pengadilan Negeri Sanggau yang sudah disidangkan dalam peradilan
adat. Dari sejumlah kasus kecelakaan lalu lintas yang disidangkan di Pengadilan Negeri
Sanggau, besar denda adat ada yang mencapai Rp 35 juta. Namun, keluarga korban
mengaku hanya menerima Rp 10 juta. "Ini fakta yang cukup memprihatinkan bagi
keluarga korban," ujar Syaukat Mursalin. Kondisi itu juga tidak adil bagi si pelaku yang
fakta sudah membayar denda adat sesuai peradilan adat. Mau tidak mau putusan peradilan adat harus dipertimbangkan oleh pihak PN Sanggau.

Pembayaran denda adat dijadikan hakim sebagai pertimbangan hal-hal yang
meringankan. Dasar pemikir-an dan pertimbangan hakim, menurut Syaukat Mursalin,
"Apakah adil bagi seorang terdakwa yang sudah habis-habisan, terkadang menjual
banyak harta, tanah dan rumah, untuk membayar denda adat, lantas dijatuhi pula
hukuman penjara? Putusan memasukkan lagi terdakwa ke penjara adalah tindakan
yang aniaya, sudah jatuh tertimpa tangga."


Untuk menciptakan perasaan keadilan, dari sekian banyak kasus yang disidangkan oleh PN Sanggau, diputus dengan hukuman percobaan. "Dipandang lebih adil oleh pengadilan apabila terdakwa yang sudah membayar denda adat dijatuhi dengan pidana percobaan," Syaukat menambahkan. Sedemikian kuat keberadaan hukum adat dan peradilan adat di Sanggau, sehingga persoalan "denda adat" terkadang muncul ibarat hantu. Sangat menakutkan. Sikap masyarakat yang cenderung segan, dan patuh, pada keputusan adat bahkan dianggap peluang bagi munculnya "preman-preman adat". Isu preman adat kini sedang meresahkan warga Sanggau. Para preman adat itu tak segan-segan mengajukan "denda adat" yang jumlahnya terlampau besar kepada para pelaku, terutama kasus pati nyawa (pembunuhan). Tauke atau keturunan Tionghoa yang bermukim di Sanggau kerap jadi sasaran preman adat. Berapa pun denda adat dijatuhkan, umumnya para tauke sanggup membayar. Ironisnya, pelaku komersialisasi hukum adat itu sendiri ternyata banyak yang bukan fungsionaris adat. Alih-alih menciptakan keadilan hukum, yang terjadi ujung-ujungnya justru pemerasan.

Sumber  : www.huma.or.id

Opini : peradilan adat sanggau atau daerah yang ada di kalimantan sebenarnya baik mereka memutuskan sesuatu dengan cara berunding dan mengikuti peraturan yang ada sejak jaman nenek moyang dulu, selagi peraturan itu bisa di terima dengan baik dan bisa di anggap adil mengapa tidak di pakai tapi dengan di bantu adanya musyawarah bersama supaya mencapai kesepakatan dan tidak ada pihak yang merasa di rugikan.

1 komentar:

  1. Pengalaman pahit saya ketika di peras preman" adat melayu semuntai,tidak tanggung" sebesar 160 juta,padahal tidak ada korban jiwa maupun ternak.Saya sangat respek dengan Bpk Hamdan MS tentang tujuan adat.Kesimpulan saya adalah SAYA DIPERAS OLEH OKNUM" YANG MENGATASNAMAKAN ADAT MELAYU SANGGAU.
    Sungguh ironis dasar adat yang berpatokan dengan Al Qur'an dibuat dasar untuk memeras orang lain oleh oknum" yang mengatasnamakan adat dan di saksikan oleh kepala desa.Lebih miris lagi setelah saya di adat,oknum" preman adat ini berpesta dan membeli harta benda dari hasil memeras dari saya,bukannya dijadikan kas adat atau desa.
    Saya sudah hidup dan menetap di kalbar walaupun dikatakan mereka 'pendatang' (padahal sama" WNI).
    Semoga ucapan Bpk Hamdan MS bukan hanya pepesan kosong,tapi bisa betul" di aplikasikan ke masyarakat.
    Kira" tindakan apa yang akan diambil pemangku adat kabupaten jika pemangku adat desa melakukan pemerasan yang mengatasnamakan adat???
    WALLOHU A'LAM

    BalasHapus